Rabu, 26 April 2017

To Whom It May Concern #4: The Puberty

This one will be about my days in middle school. 

I went to SMP Negeri 5 Bandung. It is located on the intersection of Jalan Jawa and Jalan Sumatera. I went to middle school for only two years, since I was in acceleration class. For those who are not familiar with it, acceleration class allows the students to graduate a year faster than those in the regular classes. This class kind of has its own academic timeline. A regular class has 2 semesters for each grade, each semester consists of six months. In the other hand, an acceleration class has four months in its each semester, so we didn't take exams at the same time with the kids in regular class.

The struggle in acceleration class was that I didn't like it when the teachers skipped some parts that they considered not essential for the sake of saving time. I mean, I prefer taking my time when learning something so I can learn more about the tiny, even trivial details. In this class I couldn't really.. savor it. Realizing how much I didn't like the learning style in the acceleration class, at that time I immediately made a promise to myself not to take this kind of class again in high school.

In my class, I had only eight classmates. Um, no, sorry, seven. Eight including me. Three boys and five girls. Sounds lonely, eh. Before joining this class I tasted like a couple weeks in the regular class and it got like, 40-something students, so yeah it was kinda drastically lonelier in the new class. Also, at that time I wasn't really BFFs with my classmates, I didn't really play or go out or do something with them, inside and/or outside class. I guess we were just different types of people, interested in different things. Haha. When you're in a class with 50 people there is way bigger chance to find somebody(s) with similar interests, but with 8 people? Not so easy.

So then I ended up spending most of my free time in class with my walkman (yes, it was the golden era of walkman), listening to some Green Day or Simple Plan. Or Peter Pan, the hottest local band at that time. Or sometimes I just chilled on the balcony in front of the class, looking at.. people. Sometimes I got lucky and I could see my crush in front of his class, chilling on the balcony too. Oh talking about crush(es), I had plenty during middle school. Mostly those cool guys in the school bands. I remember having a crush on two bassists, one guitarist, and one vocalist. They were probably the main reason I always spent the whole day in front of the stage during school festival, didn't care about the heat, the rain, or whatever.  

Hey when I think about it, I did have quite close friends outside class. They were my classmates in my former regular class. One of them was in the same extracurricular activity with me, probably we're close because of that. Or probably because our angkot route was the same, so we often went home together. Or maybe because we liked to go to that comic book rental after school. Well, maybe all of the above.

My other quite close friend, she was fun to be around. A little tomboy but not so much. She introduced me to this magical world called the internet. I made my first email address in Yahoo when she took me to an internet cafe behind a mall not far from school. You know what, to this day I still use that email address. Another step after making email address, I signed up on Friendster. Facebook hadn't even exist at that time. 

Okay what else was interesting. Oh, this one. We had a traditional dance class in middle school. It was a mandatory class. But it was just for girls. The boy got pencak silat class. And for some reasons a lot of girls I knew didn't like that class. But not me. I secretly looked forward to that dance class every week. I mean, who would have guessed. I was not a very girly girl. But I really enjoy learning traditional dances. Probably due to my previous experiences with traditional dances during kindergarten.

So overall, I think my middle school life was not so bad. Although if I could do it all over again I probably would prefer being in regular class, because of.. reasons. But there's a bright side too. Some people maybe had a difficult and/or confusing time during middle school years. You know, the emotional and physical transition, the hormones, the new relationships, the chick flicks, and everything. Well I think I was too occupied with the acceleration class thingy so I didn't have time to pay attention to those stuffs. 

Actually I don't know if I was unlucky that I missed out so much, or if I was lucky that my puberty was problem-free.

But the important thing is that I survived. Haha. Isn't that what this life is about: surviving?



Minggu, 23 April 2017

To Whom It May Concern #3: Beta Versi Beta

Ever wonder about me as a kid? Pretty much the same with current-me, tapi lebih bantet. 

Haha. 

Baiklah mari bicara childhood.

Masa kecil saya relatif bahagia. Normal. TK dua tahun di Makassar. Saya sebenernya nggak seberapa inget dulu di TK ngapain aja. Palingan ya kegiatan normal anak TK, mainan kertas, gunting, lem, plastisin. Terus belajar lagu daerah. Saya inget disuruh ngapalin lagu Angin Mamiri. Sama Si Patokaan. Terus karena TK saya TK Islam, dulu diajarin gerakan sholat, cara berwudhu, doa sehari-hari, dan sebagainya. Setiap jam istirahat di sekolah, mainan favorit saya ayunan. Sayangnya, mainan favorit mayoritas bocah yang lain juga ayunan, jadi banyak sekali kompetitor.

Saya juga ikutan semacam ekstrakurikuler. Tari tradisional. Latihan nya seminggu dua kali, pulang sekolah. Terus setiap akhir tahun ajaran tariannya dipentaskan. Tahun pertama saya belajar Tari Mandulang Intan. Itu ceritanya tentang perempuan-perempuan desa di Kalimantan yang kerjaan nya mendulang intan. Ada insiden ketika D-day pementasan. Ketika itu saya dan rekan-rekan sudah siap manggung, udah pake kostum. Kostumnya sederhana, wong kan ceritanya wanita desa. Terus bawa-bawa tampah pula buat properti nya. Eh tau-tau tim kelas sebelah muncul, kayaknya bakal bawain Tari Kipas. Kostumnya shiny sekali, lengkap dengan kalung dan gelang yang bling-bling, kipas nya pun ada aksen bulu-bulu nya. Seketika saya jeles, saudara-saudara. Jeles dan ngambek karena kostum saya nggak shiny. Akhirnya saya mogok nari. Eh, tetep ikut pentas sih, tapi di panggung cuma diem. Yang lain berdiri ikut berdiri, duduk ikut duduk, jalan ikut jalan, tapi nggak ikutan nari. Ya itulah, ternyata saya udah kenal cemburu sejak dini.

Kalo kegiatan di luar sekolah, ya palingan jalan-jalan sama keluarga. And by 'jalan-jalan' I mean 'jalan-jalan di dalam kota'. Paling sering saya dan adek saya (kala itu adek saya baru satu) diajak ke supermarket yang nggak jauh dari rumah. Di supermarket itu ada arena bermain buat bocah. Dulu mainan favorit saya dan si adek adalah mandi bola. Kadang kalo weekend kami ke pantai. Sewa ban karet yang warna item itu, terus berenang di pinggiran laut. Kelar berenang kulit belang-belang, baju isinya pasir semua sampe ke sempak-sempaknya. Habis itu biasanya ngadem di gubuk-gubuk pinggir pantai, terus biasanya ada yang jualan buah siwalan. Apa itu siwalan? Dan tahukan kamu apa itu siwalan? Kayak kelapa kecil-kecil gitu terus dalemnya kenyal-kenyal. Enak pokoknya. 

Masuk SD saya di Madiun. Did I mention I was a fat kid? Well I still am. Haha. Tapi waktu kecil mungkin jauh lebih kentara. Kelas satu SD berat 40 kilo. Canggih kan. Sekarang berapa? Rahasia. Ssssst. Kembali ke laptop. Jaman SD di Madiun yang paling menarik di sekolah adalah.. jam istirahat. Berikut ini tiga jenis permainan yang paling sering saya mainin di jam istirahat: lompat tali, bekel, dan kethek menek. Lompat tali, talinya bikin sendiri dari untaian karet gelang. Main bekel, bolanya bisa pake bola apa aja, umumnya ya pake bola bekel beneran. Tapi ketika ngga ada, bisa juga pake bola tenis, atau bahkan bola golf. Selama masih bisa mantul dan masih feasible buat digenggam. Kethek menek, berasal dari kata kethek yang berarti monyet dan menek yang berarti naik atau memanjat. Ini genrenya kucing-kucingan sih sebenernya. Jadi di sekolah kan banyak pilar-pilar atau tiang di sepanjang selasar ruang kelas. Nanti ada satu orang yang ngejar, yang lain dikejar, tapi yang dikejar bisa aman dan gak bakal ketangkep kalo dia 'manjat' pilar atau tiang. Technically ngga manjat beneran, cuma pegang aja.

Sampai kelas tiga SD di Madiun kayaknya saya sama aja kayak anak SD kebanyakan. Kelebihan saya palingan berat badan aja. Lainnya, medioker. Tapi semua berubah setelah kerajaan api menyerang saya cabs ke jancuk city, Surabaya. Ya ngga berubah-berubah amat sih, tapi lumayan lah, mulai bisa dieksploitasi guru-guru buat ikutan lomba-lomba di kecamatan atau di kodya. Karakter dan personality juga kayaknya mulai terdiferensiasi. Aulia 9-11 tahun adalah anak yang:

  • Nerdy, rajin belajar dan suka baca buku, terutama yang gak ada gambarnya.
  • Nggak girly, karena badan segede itu mau di-girly-in segimana juga tetap sepet di mata, so why bother.
  • Nggak jago olahraga (duh).
  • Nggak gampang takut dan/atau jijik sama hewan. Kayak misalnya kalo ada kerja bakti bersihin pelataran sekolah, terutama kalo pas musim hujan, saya suka nemu kodok yang kemudian saya ambil dan saya sodor-sodorin ke muka temen-temen yang kemudian berlarian histeris.
  • Sudah punya 'resting bitch face'. Yes, people, it's just how my face looks like. Don't just assume that I'm angry all the time, because I'm not. At least not all the time. 

Di luar sekolah, kayaknya hidup saya cukup normal dan bahagia. Belum kenal cinta-cintaan, nggak kayak (oknum) anak SD jaman sekarang yang naudzubillah malesin udah pacaran panggil papa-mama. Saya mah paling banter dulu cuma naksir-naksiran doang yang tidak ditindaklanjuti karena buat apa, masih anak ingusan ini. Hobi saya palingan ya jajan (predictable ya haha), terus cari buah kersen, terus kerumah temen main CTR (balapan crash team racing). Terus main jago-jagoan pake daun pete cina (does anyone know this game?). Terus nongkrongin tivi di hari Minggu mulai dari jam 7 pagi sampe Wiro Sableng.

Kesimpulannya, if I could do it all over again, I would probably settle for this same childhood life. Maybe I'd play outside more, and read less. 

Nah, read more, but play outside even more. 


Selasa, 11 April 2017

To Whom It May Concern #2: Bahasa

Saya anak Indonesia. Bahasa native saya ya bahasa Indonesia. Dari kelas satu SD sampe kelas tiga SMA nggak terputus dapet pelajaran Bahasa Indonesia melulu. Jaman sekolah dulu saya selalu ada love-hate relationship sama pelajaran yang satu ini. Well mostly hate. Karena nggak eksak, untuk ngerjain soal-soal nya kadang harus meraba-raba dan pake indera ke enam. Seumur hidup saya belum pernah dapet nilai sempurna di bahasa Indonesia. 

Yang paling malesin dari pelajaran bahasa Indonesia adalah kalo udah mulai ada puisi-puisian. Mulai dari disuruh menafsirkan makna puisi, disuruh bikin puisi, sampe disuruh deklamasi puisi, semuanya saya alergi. Buat saya puisi itu sangat nggak to the point lah. Haha. Maybe it's just not my cup of tea. Mungkin inilah alasannya kenapa ketika cewek-cewek pada baper dan klepek-klepek sama cowok-cowok romantis nan puitis macam Rangga di AADC atau Dilan di buku Dilan, saya mah lempeng-lempeng aja. 

Di luar pendidikan formal, rasa-rasanya saya nggak terlalu banyak kesulitan dalam mengaplikasikan bahasa Indonesia baik dalam lisan maupun tulisan. Saya mulai dari tulisan dulu sih. Dari kelas dua SD saya dibeliin diary dan akhirnya jadi terbiasa nulis. Dari SD sampe SMA dulu setiap ada kerja kelompok saya masih males jadi pembicara, selalu aktif menawarkan diri buat jadi yang bikin notulen. Tapi lama-lama yang namanya jadi pembicara atau presentasi itu nggak bisa dihindari juga kan ya. But hey, turns out I'm not as bad as I thought! Haha sombong yak. Tapi ternyata kalo udah terbiasa nulis, jadinya udah terbiasa nyusun kata-kata di kepala, akhirnya yang diomongin juga bisa terstruktur, gak semrawut.

Bahasa kedua saya bahasa Jawa. Pendidikan bahasa Jawa formal saya dapatkan selama SD, baik di Madiun maupun Surabaya. Tapi yang lebih berpengaruh ke penerapan sehari-hari ya justru dari 'pendidikan' nonformal. Saya berkomunikasi dengan orang rumah dengan bahasa campur aduk Indonesia-Jawa, dan ini saya lakukan setiap hari. Makanya, kosa kata saya lebih terpengaruh dari bahasa Jawa versi Jawa Tengah gegara bapak ibu saya dari Jawa Tengah. Emangnya beda ya sama versi Jawa Timur? Beda kakak. Nggak semuanya beda, tapi banyak bedanya. Tapi kalo dilihat dari cara bicara, saya jauh lebih condong ke versi Jawa Timur. Lebih brutal. Oh iya, saya nggak bisa ngomong pake Jawa halus, karena cuma pernah belajar di sekolah, tapi nggak pernah dipraktekin di keseharian.

Bahasa berikutnya, Sunda. Pendidikan formal cuma dapet selama dua tahun di SMP. Saya masih inget jaman awal-awal masuk SMP, lidah saya masih super kagok dan masih medhok Jawa di sana-sini. Tapi setelah ditempa selama lima tahun di SMP dan SMA, dikelilingi dan berinteraksi setiap hari dengan (mayoritas) orang Sunda, logat medhok saya hilang sama sekali. Eh salah. Bukan hilang, tapi saya jadi kayak bisa mengaktifkan ON/OFF switch gitu. Logat Jawa hanya muncul ketika ngobrol dengan orang Jawa, dan OFF sama sekali ketika ngobrol dengan non-Jawa. Kalo dari segi bahasanya sendiri sih, sebenernya saya nggak jago-jago amat sih pake bahasa Sunda. Tapi lumayan lah. Sampe pas jaman kuliah banyak yang mengasumsikan saya orang Sunda hanya meninjau dari logat dan asal SMA. Sakti kan.

Lanjut. Bahasa Inggris. Pendidikan formal mulai kelas 4 SD sampe kelas 3 SMA. Eh plus satu semester jaman kuliah sih, ada kuliah Written English. Lagi-lagi, pendidikan formal di sekolah gak ngaruh-ngaruh amat. Yang lumayan ngaruh adalah pendidikan di TBI. Haha. Jadi saya les di TBI (The British Institute) mulai dari SMP kelas 1 sampe SMA kelas 2. Dari level 3 sampe 10. Ngaruh karena di situ saya terpaksa mesti ngomong Inggris kan. Sayangnya begitu masuk kuliah skill Inggris saya terjun bebas lagi, bahkan pernah ada bule nanya ruangan di kampus, terus saya cuma bisa gelagepan. Baru sejak saya merantau ke sini skill Inggris saya jadi (terpaksa) naik lagi. Mungkin karena bahasa Inggris adalah pilihan yang lebih mudah ketimbang bahasa Kroya. Atau mungkin karena sejak di sini saya rajin streaming serial Amrik thanks to the amazing internet speed. Tapi khusus untuk skill ngomong butuh diasah sih ini. Lantaran sehari-hari ngomongnya pake broken English, gegara lawan bicaranya orang Kroya kan. Persetan kalimatnya bener apa engga, yang penting sama-sama mudeng.

Bahasa-bahasa lain yang pernah saya kenal ya palingan itu tadi, bahasa Kroya. Yang sampai tahun ke empat saya di sini pun nggak saya kuasai karena entah kenapa saya nggak termotivasi untuk bisa. Kemudian bahasa Arab, pernah belajar beberapa lama waktu ngaji di TPA dulu. Bahasa Makassar? Kayaknya ngga deh, tapi kayaknya kalo logatnya doang dulu saya bisa waktu TK.

Sejujurnya saya pernah punya keinginan bisa banyak bahasa, sebanyak mungkin. Tapi ternyata motivasinya naik turun banget. Pernah ketika minat datang, saya rajin mainan Duolingo. Tapi palingan bertahan nya gak sampe seminggu udah bosen. Haha. Aulia, si manusia penuh wacana.

*postingan perdana kemarin padahal bilangnya mau dwibahasa, baru postingan kedua aja udah males

  

Senin, 10 April 2017

To Whom It May Concern #1: The Timeline

Hari ini saya tiba-tiba kepikiran untuk bikin tulisan seri dengan judul 'To Whom It May Concern'. Sifatnya akan sangat self-centered ya, karena isinya seputar perjalanan hidup saya dari orok sampai sekarang, dan hal-hal menarik (dan mungkin juga yang tidak menarik) yang terjadi di dalamnya. Adakah tujuan tersendiri dalam tulisan seri ini? Ngga ada sih. Tapi mungkin di kemudian hari akan berguna bagi pihak-pihak yang (entah dengan alasan apa) ingin lebih kenal dengan saya. Future employer, future partner, or future kids maybe?

Jadi ya, begitulah. Mari kita mulai dari nol, kenalan dulu.

Nama saya Aulia Dewantari di akta kelahiran. Nambah nama belakang bapak saya di paspor, tapi most of the time kalo ditanya nama lengkap ya saya pake yang di akta. Orang rumah manggil saya 'Lia', atau 'Mbak Lia', karena saya anak pertama. Orang luar rumah kebanyakan manggil 'Aul'. 

Saya lahir tahun 1991, dari bapak ibu yang dua-duanya orang Jawa, asli Solo. Jadi bisa dibilang saya orang Jawa. Saya punya dua adik, dua-duanya laki-laki, yang satu beda 3 tahun, satunya lagi beda 7 tahun.

Bapak saya kerja di BUMN. Dari dulu sering banget dipindah-pindah penempatan kerja nya. Makanya masa kecil saya agak nomaden. Waktu saya lahir, pas bapak saya ditempatkan di Palembang. Habis itu pindah ke Bandung sekitar tahun 1993. Era Palembang-Bandung ini saya bener-bener ga inget apa-apa sih, sedikitpun, jadi ngga ada yang bisa diceritain.

Dari Bandung saya pindah ke Makassar. 1995-1997, saya TK di sana. TK nya di TK Islam, yayasan nya punyanya pak JK, Athirah. 1997, pindah ke Madiun, kota kecil super damai di Jawa Timur. Saya sekolah di SD Negeri Kartoharjo 01, dari kelas satu sampe kelas 3 cawu dua. 2000, pindah lagi ke Surabaya. Lanjutin sekolah di SD Negeri Percobaan, sampe lulus kelas 6. 

2003, pindah ke Bandung. Sekolah di SMP Negeri 5, kelas akselerasi, jadi cuma dua tahun. Sejak di Bandung, rumah udah ngga pindah-pindah lagi. Bapak tetap pindah-pindah ketika harus pindah, tapi anak istri ngga dibawa lagi, menetap di Bandung. 

2005, masuk SMA Negeri 3, tetanggaan sama SMP nya, tinggal jalan 10 menit. 2008, masuk kuliah di ITB, Sekolah Teknik Elektro dan Informatika. 2009 masuk jurusan Teknik Telekomunikasi. 2012, lulus kuliah. 2012 akhir, sempat kerja di swasta, tapi baru sebulan udah resign lantaran diterima kerja di BUMN. Belum enam bulan, resign lagi dari tempat kerja lantaran kepingin sekolah lagi. 

Sekarang 2017, masih terjebak di negara asal K-pop. Ambil program integrated degree, M.S./Ph.D. Bidangnya seputar microwave engineering. Bisa digugling kalo ngga familiar. Kapan lulus? Masih berusaha. Hahaha. Pernah lihat artikel di internet, katanya half of all Ph.D students suffer from psychological distress. Makanya, mohon doanya agar istiqomah dan tidak gila. 

Kayaknya buat edisi perdana itu dulu lah ya. Timeline hidup dari lahir sampe sekarang. Udah mulai kebayang saya kayak gimana orangnya? Sakti banget kalo udah kebayang. Haha. Pasti belum lah. Tunggu aja edisi-edisi berikutnya. Muach.

***

Decided to make the English version too. Demi mengasah writing skill. Haha. Okay here goes.

Today I got this idea of writing a series of blog posts entitled 'To Whom It May Concern'. It's going to have a very self-centered theme, since I will mainly talk about my life, and the interesting (and maybe the not-so-interesting) stuffs that happened to me. Do I have any particular reason for writing this? Well not really. But this probably will come in handy someday, for those who (for whatever reason) want to get to know me. Future employer, future partner, or future kids maybe?

So, yeah. Let's start with some introductions.

The name is Aulia Dewantari, on my birth certificate. I use additional last name, my father's last name, on my passport. But most of the time when asked about my full name, I use the two-words full name. The family call me 'Lia', or 'Mbak Lia', since I am the firstborn. The non-family mostly call me 'Aul'.

I was born in 1991. My parents are Javanese, both are from Solo. So it's pretty safe to say that I, too, am Javanese. I have two younger bros, with 3 years and 7 years age differences.

My father works at a government-owned company. This job requires him to move around a lot, from one city to another. So I spent my childhood living a kinda nomadic life. I was born in Palembang. Then we moved to Bandung around 1993. Actually I can't recall any memories from the time I lived in my first two cities, since, you know, I was still too young.

From Bandung, we moved to Makassar. 1995-1997, I went to the kindergarten. It was an Islamic school named Athirah, owned by the current vice president, Mr. JK. In 1997, we moved to Madiun, a peaceful small town in East Java. I went to the elementary school, SD Negeri Kartoharjo 01, starting from the first grade, until the second quarter of the third grade. In 2000, we moved to Surabaya. Continued my study at SD Negeri Percobaan, until I finally finished the 6 years of elementary school. 

In 2003, we moved again to Bandung. I went to the middle school, SMP Negeri 5, acceleration class, so I graduated from middle school a year faster than the kids my age. Since then, we no longer moved around, and by we I mean the family minus my father. He still do move wherever the job takes him, until now, but the wife and kids stay in Bandung. 

In 2005, I went to high school, SMA Negeri 3, only 10 minutes walking distance from my middle school. In 2008, I went to college, ITB, School of Electrical Engineering and Informatics. In the second year we got to choose our major, mine was Telecommunication Engineering. I graduated in 2012. At the end of that year, I got a job in a private company, but I left after a month since I got a better job in a government-owned company. I resigned again in less than 6 months, since, at that time, I wanted to continue my study. 

It is 2017 now, and here I am still stuck in the land of K-pop. I am taking an integrated degree program, M.S./Ph.D. My research is related with microwave engineering. You can look it up on google. As to the question of when I'm gonna graduate, I can't really provide a definite answer. But I'm working on it. Hahaha. I remember reading some article on the internet, said that half of all Ph.D students suffer from psychological distress. So please wish me a good luck, so I can survive this without going bananas.

Okay I think that was plenty, for an introduction. So that was the rough timeline of my life. Starting to get some clue about what kind of person I am? It'd be shocking if you were. Haha. Relax, there's more to come. Muach.